Monday, January 03, 2005

Gempa 26 Desember 2004 (Opini Kompas 28/12/2004)

sumber: kompas, 28-12-2004

Oleh Jonatan Lassa

KAMPANYE reduksi bencana dunia dari UN-ISDR (United Nations-International Strategy for Disaster Reduction)13 Oktober 2004, memberi pesan bagi kita “Belajar Dari Bencana Hari Ini Untuk Menghadapi Ancaman Esok (Learning from today’s disasters for tomorrow’s hazards)".

Ketika saya menulis artikel ini, BBC News memberitakan puluhan ribu orang meninggal akibat Tsunami yang menimpa Srilanka, India, Thailand, Malaysia, dan Aceh. Pesan ini melengkapi kematian 26 orang dan campak yang sudah membunuh sedikitnya 36 orang di Alor. Gempa Nabire (6/12/2004) lalu, membuat angka genap 62 orang meninggal karena reruntuhan gempa di Nabire. Haruskah lebih banyak lagi nyawa melayang, dan baru mendesak kita untuk belajar?

Kerentanan geologis dari wilayah-wilayah itu, kerap membuat kita tidak mau melakukan mitigasi bencana gempa. Benar, gempa tidak bisa dicegah. Tetapi, bisa dimitigasi (dampaknya bisa dijinakan). Pengetahuan ini kerap dianggap sepele. Kita baru terkejut dan memberi respon ketika sudah banyak orang mati.

"BELAJAR" adalah kata kuncinya. Kita perlu belajar dari rintihan puluhan ribu nyawa sebagaimana akibat peristiwa Minggu (26/12/2004) di Aceh, Malaysia, Thailand, dan Srilanka.

Hati kita sedih saat terjadi gempa Flores, 1992 merenggut 2.000 orang meninggal. Mereka meninggal bukan akibat gempa sendiri tetapi akibat reruntuhan konstruksi rumah yang menimpa, dikombinasi energi tsunami yang menghancurkan. Gempa Flores 1992 pernah menjadi ikon bencana besar Indonesia, namun perlahan-lahan terlupakan.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan mimpi yang masih sulit diwujudnyatakan. Peristiwa kombinasi gempa dan tsunami sepanjang pantai di Asia Tenggara ditambah India dan Srilanka (26/12/2004), dengan kekuatan 8.9 SR seolah langsung menguburkan kisah sedih di Alor, (Jum’at, 12/11/2004). Peristiwa-peristiwa itu menghancurkan dalam sesaat pembangunan yang dilakukan bertahun-tahun.

Dalam pemahaman kebanyakan orang, bencana bersifat linear. Bencana (disaster) dilihat sebagai kejadian tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi, di mana ada kerusakan (disruption) dalam skala besar secara fisik dan psikis yang membunuh/mengancam banyak nyawa manusia. Gempa, banjir bandang, dan badai tropis Siklon sudah dikenal sebagai mesin pembunuh yang bersifat “alamiah" dan “tiba-tiba". Pengertian seperti ini terus direproduksi, sehingga orang tidak menganggapnya sebagai suatu kebersalahan.

Sebagai pandangan alternatif, saya melihat bencana sebagai sebuah konstruksi sosial, dijelaskan melalui dua peristiwa yang terjadi awal abad 21, gempa San Francisco dan gempa di Mesina, Italia.

Gempa di San Fransisco 18 April 1906, pukul 5.13 pagi, dengan kekuatan 8.25 SR membunuh sedikitnya 700 penduduk dari 355.000 penduduk, dengan tingkat keselamatan (survival rate) 99.8 persen. Sedangkan gempa bumi di Mesina (Italia) 28 Dec 1908, dengan kekuatan 7.5 SR, pukul 5.23 pagi, membunuh lebih dari 120.000 dari 180.000 penduduk, dengan survival rate 33 persen (Zebrowski 1997).

Pertanyaannya, mengapa tingkat kematian di Mesina dan San-Fransisko berbeda, padahal dua peristiwa gempa itu memiliki karakter yang sama?

Menurut ilmu Risk Management yang baru populer dekade 1990-an, masyarakat ada dalam kondisi rentan/rapuh secara fisik, ekonomi/finansial, sosial, pendidikan, kesehatan, politis dan sebagainya, saat berhadapan dengan peristiwa gempa (apalagi yngg bersifat berulang, seperti Nabire dan Alor) yang melebihi kapasitas pikul dan daya tahan.


Blaikie et. al. (1994, 2004) mendefinisikan lebih utuh tentang proses terjadinya bencana. Bencana dilihat sebagai hasil kawin antara ancaman alam (gempa, banjir, cyclone dsb.) dengan akumulasi kerentanan sektoral yang dialami masyarakat. Kerentanan sektoral masyarakat digambarkan sebagai progression of vulnerability (akumulasi perkembangan kerentanan sektoral) yang berakar pada proses pembangunan itu sendiri.

Lalai menjawab akumulasi kerapuhan multi-sektoral dalam proses pembangunan sama dengan membunuh rakyat sendiri. Benar, kemiskinan sering menjadi salah satu sebab yang menciptakan kerentanan masyarakat. Tetapi, kemiskinan semata tidak cukup menjelaskan mengapa si X yang berpenghasilan di atas Rp 1.5 juta perbulan bisa meninggal karena reruntuhan rumah tembok akibat gempa; sedangkan si Y yang miskin berumah dinding, beratap alang-alang tidak mengalami kematian?

Gempa Flores tahun 1992 menjelaskan, kemiskinan tidak selalu berelasi dengan hancurnya rumah dan kematian akibat gempa. Bukankah standar hidup versi lembaga-lembaga resmi yang ada, kerap memasukan faktor rumah tembok/permanen, rumah dinding/sementara kedalam kelas ekonomi berbeda?

World Bank and United States Geological Survey mengamati bencana alam pada tahun-tahun 1990an, dengan kalkulasi kerugian ekonomi (economic losses) mencapai 280 miliar dollar AS. Kerugian ini seharusnya tidak terjadi jika sebelumnya dilakukan investasi dalam bentuk mitigasi dan manajemen risiko. Twigg (2001) memberi proporsi 1:7, di mana investasi satu dollar AS untuk mitigasi bencana demi mencegah kerugian ekonomi tujuh dollar AS.

Meski sejak 1990, PBB mencanangkan Dekade Internasional untuk Reduksi Bencana Alam demi pengarusutamaan mitigasi (penjinakan dampak bencana), namun upaya ini belum banyak membawa hasil. Menyimak spending lembaga donor besar yang concern bencana seperti ECHO (Europan Community for Humanitarian Office) ternyata hanya mengalokasikan satu persen dana untuk mitigasi, selebihnya untuk proyek karikatif (seperti distribusi bantuan pangan), emergensi/relief dan jangka pendek. Apakah struktur anggaran belanja daerah maupun nasional sudah ada pos untuk mitigasi? Atau masih sekedar “pos tak terduga atau dana tak terduga/kontingensi" semata? Bila demikian, kita menunggu tumpahan darah rakyat, baru bereaksi lagi?

BENCANA adalah proses, bukanlah sebuah kejadian tiba-tiba. Ia terjadi karena tidak terkelolanya risiko, yang merupakan fungsi dari kerentanan multi-sektoral. Manajemen pembangunan harus mampu menjawab persoalan kerentanan yang ada (sadar atau tidak) seiring proses pembangunan itu sendiri.

Karena itu, manajemen risiko bencana merupakan bagian dari upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Dialektika manajemen pembangunan dan manajement risiko bencana/mitigasi merupakan dua sisi dari koin yang sama. Yodmani (2001) menyebut bencana sebagai problem pembangunan yang tidak terselesaikan (unresolved problems of development). Kita diberitahu, sustainable development merupakan mimpi karena diinterupsi bencana yang hakikatnya berakar pada kerapuhan yang terkonstruksi dan terinternalisasi di masyarakat , bersamaan dengan proses pembangunan.

Kepada kita, pesan atas puluhan ribu korban meninggal di Srilanka, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Aceh, Alor, dan Nabire adalah “marilah belajar dari peristiwa bencana ini dalam mengadapi ancaman di hari esok"

Jonatan Lassa mahasiswa MSc in Environment and Development, University of East Anglia, UK; Disaster Risk Management Consultant